Ust.
Shohibun Niam al Tarobani
“Menggerakkan
dunia dengan energi yang terbaharukan”
Bangku
perkuliahan saat ini trademarknya tidak seperti dulu lagi. Jika sepuluh tahun
yang lalu bisa duduk di bangku perguruan tinggi banyak yang bilang woow,
sekarang tidak lagi karena negeri asal batik ini sudah memiliki banyak
sekali sarjana. Didaerah saya saja yang jauh dari jalan beraspal sudah banyak buruh
tani kasar yang bergelar sarjana. Apalagi di daerah lain yang lebih kekotaan
sedikit,tentu lebih banyak lagi.
Fenomena
turun harga ini sebenarnya sangat wajar. Karena hukum alam mengharuskan segala
sesuatu yang melimpah untuk anjlok menjadi murah, atau bahkan sangat murah.
Ketika negeri ini telah memiliki stok sarjana yang melimpah, karena orang ramai
berbondong-bondong berangkat kuliah, maka title S-nya turun harga. Nah, penulis
kebagian bangku kuliah di saat harganya sedang anjlok seperti ini. Sudah
menjadi nasib.
Dalam
program kuliah yang saya ikuti, kami dibimbing oleh para dosen budiman yang
hebat. Namun, kehebatan mereka tidak sama.Ada yang hebat bercerita; abang, ijo
lan kuning, ada yang hebat berhumor ria; mengocok isi perut, ada yang hebat
presentasi; semuanya diterangkan, dan yang paling membuat otak kami
cenat-cenut, ada seorang dosen yang rajin memberi nasehat pada kami untuk
disiplin waktu.
Maklum, beliau agak sedikit apes. Jadwal mata
kuliah beliau dimulai persis pukul 07.00 dan dalam semua pertemuan sebagian
besar dari kami pasti terlambat. Maklum’lah, karena kebanyakan dari kami
berasal dari tempat yang sangat jauh. Dari ujungpelosok bojonegoro.
Dosen
yang dimuliakan Allah ini selalu saja membawa nama-nama NU dalam kelambanan
kami. Mungkin saja, karena tahlilnya orang NU selalu molor. Yang lebih
menyebalkan, akhir-akhir ini beliau juga membawa-bawa nama pondok pesantren.
Katanya santri pesantren itu awuran’lah, kuno’lah, ketinggalan jaman’lah,
bodoh’lah atau buta teknologi’lah. Sembarang kalir.
Santri cap apa yang kupingnya
tidak panas menyaring ucapan-ucapan seperti itu?
Jelas
kami semua jadi jengkel. Walaupun sebenarnya kami sadar bahwa yang beliau
katakan itu hampir benar. Rasanya darah jihad yang menggumpal di ubun-ubun
sudah mendidih. Tapi kami tetap menahan diri. Karena memang tidak punya jurus
untuk membela diri dari serangannya.
Jumat
pagi di akhir bulan Oktober, pak dosen yang mengampu mata kuliyah Ilmu Alamiah
Dasar itu membahas sumber energi baru dan manfaatnya pada manusia. Seusai
presentasi bla-bla-bla, beliau membaca wiridannya, membaca-kan ayat-ayat
nasehatnya pada kami.
Sambil memukul meja dengan tangannya serta dgn
nada tinggi, beliau mengatakan bahwa para ilmuan sekarang ini sudah berhasil
menemukan berbagai sumber energi baru untuk menggantikan bahan bakar fosil yang
semakin menipis.
”Mereka
sudah begitu jauh melangkah, sedangkan santri-santri pondok sampai saat ini
belum beranjak kemana-mana, ketinggalan sangat jauh dari mereka. Bahkan, sampai
sekarang wong sarungan juga belum paham dengan kemajuan-kemajuan besar
seperti ini”.
Asem!.
Tiba-tiba
dari barisan duduk kedua ada salah satu dari kami yang mengacungkan tangannya.
Sebuah tanda untuk meminta izin ikut angkat suara. Pak dosenpun mengizinkannya
berbicara.
Dengan mantap mahasiswa berambut kumal itu
memulai orasinya yang heroik. Kira-kira seperti pidatonya bung Tomo di RRI yang
terkenal itu. Mungkin, kelak kata-kata yang diucapkannya akan tercatat dalam
sejarah bangsa Indonesia.
“Pak,
sebenarnya ada satu sumber energi alternatif terbaharukan yang belum pernah
diusahakan oleh ilmuan ataupun ahli manapun di dunia ini”
Ruangan
seketika menjadi sepi. Semua yang ada di ruangan termangu menunggu kelanjutan
pidato pembelaan mahasiswa yang baru jadi mahasiswa ini.
“Energi
tersebut adalah kentut pak”
Seketika,
suasana ruangan berubah. Kebanyakan menahan tawa.Tapi ada yang sampai
kelepasan, meledakkan tawa yang keras. Yang jelas, semuanya merenggangkan
otot-otot wajah yang tadinya tegang karena emosi. Mungkin, hanya pak dosen
budiman saja yang cemberut. Ketika saya amati, dari bibirnya tampak tawa kecil
yang dipaksa-paksakan. Tidak ikhlas sama sekali.
“Menurut
penelitian, gas kentut itu kan mengandung berbagai zat kimia. Diantaranya ada
N2 atau Nitrogen, H2S atau Hidrogen Sulfida, CH4 atau Metan dan berbagai gas
lainnya. Nah, gas Metan atau CH4 yang terkandung dalam kentut itu sama dengan
biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi yang bapak bicarakan. Jadi kalau
dikelola dan diolah dengan baik, kentut juga dapat digunakan sebagai energi
alternative pengganti minyak”
“Sampai
saat ini, energi kentut ini belum ada ilmuan ataupun peneliti yang
mengusahakannya pak! Jadi, bapak sebagai dosen Ilmu Alamiah Dasar saya minta
untuk mengusulkannya pada mereka. Gimana pak?”
Saat
itu pak dosen budiman mati kutu dengan usulan ndagel tersebut. Karena
N2, CH4, H2S itu entah makanan khas mana dan seperti apa ia juga tidak ngerti.
Akhirnya pak dosen angkat suara, menaggapi usulan tadi. Beliau berkelit dengan
mengatakan :
“Kentut
itu kan sifatnya spontan atau keluar secara otomatis dan tidak bisa diusahakan.
Kalau kotoran sapi kan bisa diusahakan dari usaha peternakan. Jadinya ya ide
itu sulit diterapkan”
“Lho,
tidak sulit-sulit kok. Kata siapa sulit? cara mengusahakannya mudah sekali pak.
Menyok dan Telo setengah matang kan terkenal sangat mujarab untuk memproduksi
kentut (lebih tepatnya bom kentut, hehe). Ya, dengan itulah pak cara
mengusahakannya” jawabnya tidak mau kalah.
Secara pribadi, saya setuju dengan
usulan yang (menurut saya) cerdas tersebut. Saya kira itu adalah solusi yang
hebat untuk memproduksi kentut secara masal. Anda juga setuju, kan?.
Dari
salah satu sudut ruangan, ada mahasiwa yang memegang korek api dan berseloroh
dengan keras
“Mas! coba kemari. Bisa nyala atau tidak (kentutnya)?
Candaan ini disambut dengan gelak
tawa keras yang memenuhi ruangan. Dalam hati, saya juga ikutan usul untuk
membuat tanda peringatan begini “WARNING! Jangan kentut di dekat api. Bisa
meledak”. Haa.. ha ...
Hari
itu benar-benar hari kemenangan kami dari dosen budiman yang satu ini. Menang
telak bahkan. Ini adalah kemenangan yang pertama setelah berminggu-minggu
diserangnya tanpa perlawanan yang berarti. Hari itu kami merasa dibela oleh
“kentut”. Mungkin hari itu judulnya kentut membawa rahmat.
Dan
kami tidak menyebut mahasiswa yang nekat tadi dengan sebutan pahlawan kentut.
Karena, kelihatannya kok saru. Tapi,
jika dia terus ngotot dengan masalah kentut tadi dan kelak skripsinya juga
tentang kentut, maka dialah satu-satunya sarjana kentut yang pernah kami kenal.
Oh ya, sebenarnya mahasiswa yang
ndagel tersebut adalah saya sendiri. Astaghfirullah… Astaghfirullah…
Astaghfirullah…