Kajian ini merupakan translite dari kitab " AHLAL MUSAMAROH fi hikayatil aulia'il 'asyroh (MANISNYA OBROLAN MALAM, yang menceritakan wali sepuluh) yang disusun oleh Abul Fadlol bin Abdusy Syakur dari desa Senori, kabupaten Tuban.
Kajian ini diterbitkan setiap hari jumat
----------------------------------------------------------------------------------------------------
1.6. Berkunjung ke Majapahit
Adapun cerita tentang Sayyid
Raja Pendita dan Sayyid Rahmad, putra Sayyid Ibrahim Al Asmar yang keduanya
hidup dan tinggal di negeri Campa. Suatu ketika mereka berdua meminta izin
kepada ayahanda mereka untuk mengunjungi bibi mereka, Marta Ningrum, yang
menjadi istri raja Brawijaya di kerajaan Majapahit. Ayah mereka pun memberi
izin kepada mereka dan memerintahkan salah satu pembantunya yang bernama Abu Hurairoh untuk menemani perjalanan
mereka. Sang ayah berpesan kepada Abu Hurairoh untuk selalu melayani Sayyid
Raja Pendita dan Sayyid Rahmad serta mematuhi semua yang diperintahkan oleh
mereka. Mereka bertiga (Sayyid Raja Pendita, Sayyid Rahmad dan Abu Hurairoh)
mohon diri kepada ayahanda mereka. Mereka keluar meninggalkan negeri Campa dan
mencari kapal yang berlayar ke pulau Jawa. Mereka terus berjalan dan mencari
hingga mereka sampai di sebuah daerah yang bernama Kupeng. Di situ mereka mendapati ada sebuah kapal yang berlayar
menuju kota Gresik. Gresik adalah
sebuah kota yang terletak di dekat kota Surabaya.
Mereka bernego dan berunding dengan si empunya kapal untuk ikut menumpang di
kapal tersebut. Si empunya kapal pun memberi izin kepada mereka. Kapalpun
berlayar selama tujuh hari di atas laut dengan diombang-ambing angin yang
tenang dan bersahabat. Di tengah perjalanan, secara tiba-tiba kapal dihantam
dengan angin badai dan menyeretnya hingga di perairan negeri Kamboja. Ketika kapal mendekati pantai,
tanpa sengaja kapal menghantam batu karang dan kapalpun pecah. Berita
kecelakaan kapal itu sampai ke telinga raja Kamboja. Sang raja lalu
memerintahkan untuk mengambil kapal tersebut dan menahan seluruh awak kapal
serta segala muatan yang ada di kapal tersebut. Setelah itu raja memerintahkan
untuk membakar kapal itu dan memenjarakan Sayyid Raja Pendita, Sayyid Rahmad
dan pembantunya Abu Hurairoh.
Atas peristiwa yang dialami
oleh tiga orang ini, mereka berembug tentang langkah apa yang akan diambil
selanjutnya. Akhirnya dari rembugan tersebut, mereka menyepakati untuk memberi
tahu kepada raja Brawijaya tentang musibah yang mereka alami dan meminta kepada
raja Brawijaya untuk membebaskan mereka dari tangan raja Kamboja. Tindakan ini
mereka ambil karena daerah Kamboja berada di bawah kekuasaan Majapahit yang
pada saat itu dipimpin oleh raja Brawijaya. Maka mereka mengutus seorang
penduduk Kamboja untuk menemui raja Brawijaya. Utusan itupun pergi hingga
sampai ke Majapahit. Ketika ia bertemu dengan raja Brawijaya, ia pun di tanya
oleh Brawijaya tentang siapa namanya, dari negeri mana ia asal, dan apa
keperluannya. Ia menjawab, "Hamba adalah seorang penduduk Kamboja. Hamba
datang kepada paduka raja sebagai utusan dari kedua putra tuan. Mereka adalah
kedua putra dari Dewi Chandra Wulan, putri raja Campa yang bernama Sayyid Raja
Pendita, Sayyid Rahmad, dan seorang pembantu yang bersama mereka bernama Abu
Hurairoh. Semula mereka berkeinginan untuk mengunjungi paduka raja di kerajaan
Majapahit ini dengan mengendarai kapal laut. Namun, ketika kapal sampai ke
perairan Kamboja, kapal menghantam batu karang dan kapal pun pecah. Lalu raja Kamboja membakar kapal itu
dan mengambil semua yang ada di kapal itu, termasuk juga barang-barang muatan
kapal itu. Dan perlu paduka ingat mereka ini sekarang ditahan oleh raja Kamboja
sebagai budaknya yang selalu diliputi kesedihan dan kesusahan. Mereka
mengharapkan pertolongan dari paduka raja untuk membebaskan mereka dari
cengkeraman raja Kamboja." Setelah Brawijaya mendengar penuturan cerita
tentang kedua keponakannya dan seorang pembantunya dari orang Kamboja itu, hati
kecilnya merasa iba kepada kedua keponakannya
dan seorang pembantunya itu. Istri Brawijaya, Marta Ningrum, malah begitu sedih
mendengar berita itu dan air matanya jatuh bercucuran.
Brawijaya akhirnya memanggil
Arya Bangah. Saat Arya Bangah menghadapnya, diceritakannya kepada menterinya
itu tentang kecelakaan kapal yang di tumpangi kedua keponakannya dan seorang
pembantunya di perairan Kamboja. Tentang kabar ditahan serta dijadikannya
mereka sebagai budak oleh raja Kamboja. Brawijaya berkata kepada Arya Bangah,
"Pergilah ke Kamboja untuk mengambil ketiga anak itu dari tangan raja
Kamboja. Dan untuk tugas ini aku akan mengutus bersamamu sepuluh perajurit
pilihan serta bawalah senjata yang kalian butuhkan." Arya Bangah dan
prajurit yang bersamanya berpamitan kepada raja Brawijaya. Mereka meninggalkan
Majapahit dan pergi hingga sampai ke negeri Kamboja. Ketika mereka berhadapan
dengan raja Kamboja, sang raja menanyakan siapa nama mereka, dari mana asal
mereka, dan apa keperluan mereka datang ke Kamboja. Arya Bangah menjawab
pertanyaan raja Kamboja itu, "Nama hamba adalah Arya Bangah. Hamba dan
prajurit yang bersama dengan hamba ini diutus oleh raja yang agung Brawijaya
untuk memastikan tentang berita yang diterima oleh beliau. Bahwa anda menahan dua
pemuda dan seorang pembantunya. Yang mana mereka itu menaiki kapal dan kapal
itu kecelakaan menabrak batu karang di perairan negeri Kamboja ini. Jika berita
itu benar, maka raja Brawijaya meminta anda untuk mengirimkan mereka kepada
beliau karena tujuan kepergian mereka adalah untuk menemui raja Brawijaya.
Selain itu, kedua pemuda itu adalah anak Dewi Chandra Wulan putri raja Campa
yang tidak lain adalah saudara perempuan ratu Marta Ningrum istri raja
Brawijaya. Beliau, raja Brawijaya sangat bergembira , mereka tidak tenggelam di
dasar laut. Dan beliau mengucapkan banyak terima kasih kepada anda yang telah
menyelamatkan mereka dari bahaya besar itu."
Saat raja Kamboja mendengar
perkataan Arya Bangah, ia pun langsung memanggil ketiga orang yang dimaksud.
Setelah tiga orang itu menghadap sang raja, ia berkata, "Orang-orang ini
adalah utusan dari raja Brawijaya. Mereka datang untuk memintaku mengirim
kalian kepada beliau bersama mereka. Maka dari itu pergilah bersama
mereka."
Mereka menjawab, "Baiklah
Tuanku." Arya Bangah dan prajurit yang bersamanya serta ketiga pemuda itu
(Sayyid Raja Pendita, Sayyid Rahmad, dan Abu Hurairoh) berpamitan kepada raja
Kamboja. Mereka keluar dari istana raja Kamboja dan menuju ke arah kerajaan
Majapahit. Mereka pergi melalui jalur darat dan laut hingga mereka sampai ke
Majapahit. Sesampainya di Majapahit, Arya Bangah mengantarkan ketiga orang
pemuda itu untuk menghadap raja Brawijaya. Ketika mereka menghadap raja
Brawijaya, beliau menanyakan tentang peristiwa apa yang telah menimpa mereka.
Merekapun menceritakan apa yang mereka alami mulai dari awal sampai akhir.
Brawijaya meminta mereka untuk tinggal bersama beliau. Dan beliau memperlakukan
mereka dengan sangat baik dan mulia. Cerita peristiwa ini terjadi pada abad
ke-6 dari tahun Hijriyyah.
Brawijaya sangat mencintai dua
anak muda ini. Hingga mereka sudah seperti anak sendiri bagi Brawijaya. Ia
berikan apa yang diminta oleh mereka berdua. Akan tetapi selama di Majapahit,
hati mereka berdua selalu merasa sumpek
dan susah. Karena mereka tidak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit,
pada khususnya, dan penduduk Pulau Jawa, pada umumnya, yang memeluk dan
mengerjakan syari'at agama islam. Sampai-sampai pada saat mereka berdua
mendirikan sholat, orang-orang menjadikannya sebagai bahan tertawaan dan
ejekan. Orang-orang menganggap mereka berdua bodoh karena orang-orang tersebut
melihat mereka mengerjakan pekerjaan yang aneh. Orang-orang itu tidak tahu sama
sekali tentang berdiri di waktu sholat, bacaan yang dibaca di waktu sholat,
ruku', i'tidal, sujud, duduk di dalam sholat, Tasyahhud, dan lain sebagainya. Hingga ada seorang tua yang
termasuk dari golongan para cendikia Majapahit berkata, "Janganlah kalian
menterwakan dan mengejek dua anak muda ini! Sesungguhnya setiap manusia memiliki
Tuhan yang disembah dengan cara yang mereka sukai. Dan mereka berdua pun
memiliki Tuhan yang tidak seperti Tuhan yang kalian miliki. Mereka menyembah
Tuhan mereka dengan cara yang lebih mereka sukai. Maka dari itu janganlah
kalian mencela dan menghina orang yang sedang menyembah Tuhannya."
Inilah cerita dari peristiwa
yang dialami oleh Sayyid Raja Pendita dan Sayyid Rahmad. Dalam cerita itu
terkandung Ibroh bagi para pemikir
serta petunjuk bagi mereka yang mendambakan
petunjuk. Yaitu setiap orang yang beriman haruslah jangan pernah merasa
malu kepada manusia dalam menjalankan apa yang diwajibkan oleh Alloh SWT
kepadanya. Serta jangan pernah merasa takut kepada cercaan dan hinaan dari
orang-orang yang menghina dan memandang sebelah mata dalam mencari ridlo Alloh
SWT. Seperti dawuh-ungkapan dari sebagian ulama'-semoga
Alloh SWT merahmatinya;
Iman
seseorang tidak pernah terhitung sempurna,
Sehingga
ia melihat manusia seumpama seekor unta.
Maka
pujian dan cercaan manusia (kepadanya) adalah sama saja,
Ia tidak
merasa takut akan cercaan orang yang menghinanya dalam ia mencari ridlo Dzat
yang luhur.