Selamat datang di Website PP. Adnan Al Charish

Kajian Wali Songo bag.5

PAK WALANG
Kajian ini merupakan translite dari kitab " AHLAL MUSAMAROH fi hikayatil aulia'il 'asyroh (MANISNYA OBROLAN MALAM, yang menceritakan wali sepuluh) yang disusun oleh Abul Fadlol bin Abdusy Syakur dari desa Senori, kabupaten Tuban.
Kajian ini diterbitkan setiap hari jumat
----------------------------------------------------------------------------------------------------



1.6. Berkunjung ke Majapahit
Adapun cerita tentang Sayyid Raja Pendita dan Sayyid Rahmad, putra Sayyid Ibrahim Al Asmar yang keduanya hidup dan tinggal di negeri Campa. Suatu ketika mereka berdua meminta izin kepada ayahanda mereka untuk mengunjungi bibi mereka, Marta Ningrum, yang menjadi istri raja Brawijaya di kerajaan Majapahit. Ayah mereka pun memberi izin kepada mereka dan memerintahkan salah satu pembantunya yang bernama Abu Hurairoh untuk menemani perjalanan mereka. Sang ayah berpesan kepada Abu Hurairoh untuk selalu melayani Sayyid Raja Pendita dan Sayyid Rahmad serta mematuhi semua yang diperintahkan oleh mereka. Mereka bertiga (Sayyid Raja Pendita, Sayyid Rahmad dan Abu Hurairoh) mohon diri kepada ayahanda mereka. Mereka keluar meninggalkan negeri Campa dan mencari kapal yang berlayar ke pulau Jawa. Mereka terus berjalan dan mencari hingga mereka sampai di sebuah daerah yang bernama Kupeng. Di situ mereka mendapati ada sebuah kapal yang berlayar menuju kota Gresik. Gresik adalah sebuah kota yang terletak di dekat kota Surabaya. Mereka bernego dan berunding dengan si empunya kapal untuk ikut menumpang di kapal tersebut. Si empunya kapal pun memberi izin kepada mereka. Kapalpun berlayar selama tujuh hari di atas laut dengan diombang-ambing angin yang tenang dan bersahabat. Di tengah perjalanan, secara tiba-tiba kapal dihantam dengan angin badai dan menyeretnya hingga di perairan negeri Kamboja. Ketika kapal mendekati pantai, tanpa sengaja kapal menghantam batu karang dan kapalpun pecah. Berita kecelakaan kapal itu sampai ke telinga raja Kamboja. Sang raja lalu memerintahkan untuk mengambil kapal tersebut dan menahan seluruh awak kapal serta segala muatan yang ada di kapal tersebut. Setelah itu raja memerintahkan untuk membakar kapal itu dan memenjarakan Sayyid Raja Pendita, Sayyid Rahmad dan pembantunya Abu Hurairoh.
Atas peristiwa yang dialami oleh tiga orang ini, mereka berembug tentang langkah apa yang akan diambil selanjutnya. Akhirnya dari rembugan tersebut, mereka menyepakati untuk memberi tahu kepada raja Brawijaya tentang musibah yang mereka alami dan meminta kepada raja Brawijaya untuk membebaskan mereka dari tangan raja Kamboja. Tindakan ini mereka ambil karena daerah Kamboja berada di bawah kekuasaan Majapahit yang pada saat itu dipimpin oleh raja Brawijaya. Maka mereka mengutus seorang penduduk Kamboja untuk menemui raja Brawijaya. Utusan itupun pergi hingga sampai ke Majapahit. Ketika ia bertemu dengan raja Brawijaya, ia pun di tanya oleh Brawijaya tentang siapa namanya, dari negeri mana ia asal, dan apa keperluannya. Ia menjawab, "Hamba adalah seorang penduduk Kamboja. Hamba datang kepada paduka raja sebagai utusan dari kedua putra tuan. Mereka adalah kedua putra dari Dewi Chandra Wulan, putri raja Campa yang bernama Sayyid Raja Pendita, Sayyid Rahmad, dan seorang pembantu yang bersama mereka bernama Abu Hurairoh. Semula mereka berkeinginan untuk mengunjungi paduka raja di kerajaan Majapahit ini dengan mengendarai kapal laut. Namun, ketika kapal sampai ke perairan Kamboja, kapal menghantam batu karang dan kapal pun  pecah. Lalu raja Kamboja membakar kapal itu dan mengambil semua yang ada di kapal itu, termasuk juga barang-barang muatan kapal itu. Dan perlu paduka ingat mereka ini sekarang ditahan oleh raja Kamboja sebagai budaknya yang selalu diliputi kesedihan dan kesusahan. Mereka mengharapkan pertolongan dari paduka raja untuk membebaskan mereka dari cengkeraman raja Kamboja." Setelah Brawijaya mendengar penuturan cerita tentang kedua keponakannya dan seorang pembantunya dari orang Kamboja itu, hati kecilnya merasa iba kepada kedua keponakannya dan seorang pembantunya itu. Istri Brawijaya, Marta Ningrum, malah begitu sedih mendengar berita itu dan air matanya jatuh bercucuran.
Brawijaya akhirnya memanggil Arya Bangah. Saat Arya Bangah menghadapnya, diceritakannya kepada menterinya itu tentang kecelakaan kapal yang di tumpangi kedua keponakannya dan seorang pembantunya di perairan Kamboja. Tentang kabar ditahan serta dijadikannya mereka sebagai budak oleh raja Kamboja. Brawijaya berkata kepada Arya Bangah, "Pergilah ke Kamboja untuk mengambil ketiga anak itu dari tangan raja Kamboja. Dan untuk tugas ini aku akan mengutus bersamamu sepuluh perajurit pilihan serta bawalah senjata yang kalian butuhkan." Arya Bangah dan prajurit yang bersamanya berpamitan kepada raja Brawijaya. Mereka meninggalkan Majapahit dan pergi hingga sampai ke negeri Kamboja. Ketika mereka berhadapan dengan raja Kamboja, sang raja menanyakan siapa nama mereka, dari mana asal mereka, dan apa keperluan mereka datang ke Kamboja. Arya Bangah menjawab pertanyaan raja Kamboja itu, "Nama hamba adalah Arya Bangah. Hamba dan prajurit yang bersama dengan hamba ini diutus oleh raja yang agung Brawijaya untuk memastikan tentang berita yang diterima oleh beliau. Bahwa anda menahan dua pemuda dan seorang pembantunya. Yang mana mereka itu menaiki kapal dan kapal itu kecelakaan menabrak batu karang di perairan negeri Kamboja ini. Jika berita itu benar, maka raja Brawijaya meminta anda untuk mengirimkan mereka kepada beliau karena tujuan kepergian mereka adalah untuk menemui raja Brawijaya. Selain itu, kedua pemuda itu adalah anak Dewi Chandra Wulan putri raja Campa yang tidak lain adalah saudara perempuan ratu Marta Ningrum istri raja Brawijaya. Beliau, raja Brawijaya sangat bergembira , mereka tidak tenggelam di dasar laut. Dan beliau mengucapkan banyak terima kasih kepada anda yang telah menyelamatkan mereka dari bahaya besar itu."
Saat raja Kamboja mendengar perkataan Arya Bangah, ia pun langsung memanggil ketiga orang yang dimaksud. Setelah tiga orang itu menghadap sang raja, ia berkata, "Orang-orang ini adalah utusan dari raja Brawijaya. Mereka datang untuk memintaku mengirim kalian kepada beliau bersama mereka. Maka dari itu pergilah bersama mereka."
Mereka menjawab, "Baiklah Tuanku." Arya Bangah dan prajurit yang bersamanya serta ketiga pemuda itu (Sayyid Raja Pendita, Sayyid Rahmad, dan Abu Hurairoh) berpamitan kepada raja Kamboja. Mereka keluar dari istana raja Kamboja dan menuju ke arah kerajaan Majapahit. Mereka pergi melalui jalur darat dan laut hingga mereka sampai ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit, Arya Bangah mengantarkan ketiga orang pemuda itu untuk menghadap raja Brawijaya. Ketika mereka menghadap raja Brawijaya, beliau menanyakan tentang peristiwa apa yang telah menimpa mereka. Merekapun menceritakan apa yang mereka alami mulai dari awal sampai akhir. Brawijaya meminta mereka untuk tinggal bersama beliau. Dan beliau memperlakukan mereka dengan sangat baik dan mulia. Cerita peristiwa ini terjadi pada abad ke-6 dari tahun Hijriyyah.
Brawijaya sangat mencintai dua anak muda ini. Hingga mereka sudah seperti anak sendiri bagi Brawijaya. Ia berikan apa yang diminta oleh mereka berdua. Akan tetapi selama di Majapahit, hati mereka berdua selalu merasa sumpek dan susah. Karena mereka tidak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit, pada khususnya, dan penduduk Pulau Jawa, pada umumnya, yang memeluk dan mengerjakan syari'at agama islam. Sampai-sampai pada saat mereka berdua mendirikan sholat, orang-orang menjadikannya sebagai bahan tertawaan dan ejekan. Orang-orang menganggap mereka berdua bodoh karena orang-orang tersebut melihat mereka mengerjakan pekerjaan yang aneh. Orang-orang itu tidak tahu sama sekali tentang berdiri di waktu sholat, bacaan yang dibaca di waktu sholat, ruku', i'tidal, sujud, duduk di dalam sholat, Tasyahhud, dan lain sebagainya. Hingga ada seorang tua yang termasuk dari golongan para cendikia Majapahit berkata, "Janganlah kalian menterwakan dan mengejek dua anak muda ini! Sesungguhnya setiap manusia memiliki Tuhan yang disembah dengan cara yang mereka sukai. Dan mereka berdua pun memiliki Tuhan yang tidak seperti Tuhan yang kalian miliki. Mereka menyembah Tuhan mereka dengan cara yang lebih mereka sukai. Maka dari itu janganlah kalian mencela dan menghina orang yang sedang menyembah Tuhannya."
Inilah cerita dari peristiwa yang dialami oleh Sayyid Raja Pendita dan Sayyid Rahmad. Dalam cerita itu terkandung Ibroh bagi para pemikir serta petunjuk bagi mereka yang mendambakan  petunjuk. Yaitu setiap orang yang beriman haruslah jangan pernah merasa malu kepada manusia dalam menjalankan apa yang diwajibkan oleh Alloh SWT kepadanya. Serta jangan pernah merasa takut kepada cercaan dan hinaan dari orang-orang yang menghina dan memandang sebelah mata dalam mencari ridlo Alloh SWT. Seperti dawuh-ungkapan dari sebagian  ulama'-semoga Alloh SWT merahmatinya;

Iman seseorang tidak pernah terhitung sempurna,
Sehingga ia melihat manusia seumpama seekor unta.

Maka pujian dan cercaan manusia (kepadanya) adalah sama saja,
Ia tidak merasa takut akan cercaan orang yang menghinanya dalam ia mencari ridlo Dzat yang luhur.


Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.