Kajian ini merupakan translite dari kitab " AHLAL MUSAMAROH fi hikayatil aulia'il 'asyroh (MANISNYA OBROLAN MALAM, yang menceritakan wali sepuluh) yang disusun oleh Abul Fadlol bin Abdusy Syakur dari desa Senori, kabupaten Tuban.
Kajian ini diterbitkan setiap hari jumat
----------------------------------------------------------------------------------------------------
1.4. Raden Bondan Kejawan ( Lembu
Peteng )
Yang terjadi setelah itu di
kerajaan Majapahit adalah raja Brawijaya jatuh sakit. Ia tidak dapat berjalan. Kelumpuhan telah
menderanya dan tidak ada yang dapat menyembuhkannya. Hingga pada suatu hari ada
seorang dukun datang dan berkata pada
raja Brawijaya, "Tuan, anda tidak akan bisa sembuh dari penyakit anda ini
kecuali dengan menikahi seorang wanita yang bernama Wandhan Kuning. Wanita ini berasal dari kalangan rakyat jelata yang
rendah derajatnya dan sangat jelek." Dari penuturan dukun itu, hati Brawijaya tidak mempunyai keinginan untuk
memperistrinya. Akan tetapi keinginannya untuk sembuh dan lepas dari
penyakitnya itulah yang mendorong Brawijaya untuk tetap menikahi Wandhan
Kuning. Setelah lewat tiga hari dari pernikahannya, penyakit yang diderita oleh
Brawijaya mengalami perubahan. Dan hanya dengan waktu yang singkat Brawijaya
sembuh dari penyakitnya dan kesehatannya kembali seperti sedia kala.
Dari perkawinannya itu, Wandhan
Kuning mengandung seorang anak. Saat menginjak usia melahirkan kandungan,
Wandhan Kuning pun melahirkan seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang
tampan. Brawijaya menamainya; Bondan
Kejawan. Pada waktu itu Brawijaya merasa malu kepada para menterinya dan
juga kepada orang-orang penting di kerajaan karena ia memiliki anak yang lahir
dari rahim seorang wanita yang derajatnya rendah, hina dan jelek. Maka dari itu
Brawijaya memutuskan megeluarkan Wandhan Kuning beserta anaknya dan
menyerahkannya kepada seorang petani yang hidup di desa Karang Jambu. Anak laki-laki Wandhan Kuning tumbuh dewasa dan ia
memakai nama panggilan Lembu Peteng.
Lembu Peteng hidup dalam keadaan yang buruk dan terhimpit kesusahan hidup
karena tidak ada pekerjaan lain yang dapat ia kerjakan kecuali bertani. Ia
merasa malu kepada masyarakat sekitar karena ia menjalani hidup sebagai orang
yang rendah derajatnya dan jelata. Sedangkan kabar yang mengatakan bahwa ia
adalah salah satu dari anak raja Brawijaya telah tersebar luas di masyarakat.
Lembu Peteng pun merasa sedih karena keadaannya itu dan terus memikirkan jalan
keluar dari masalah yang ia hadapi ini. Kebingungan merundung hatinya yang
terjebak dalam jurang kesusahan. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari
desanya itu. Ia terus berkelana mengelilingi bumi hingga ia sampai di sebuah
gunung yang disebut Kadieng. Kemudian
ia menyepi dan menyendiri serta berriyadloh
di gunung itu. Mengekang hawa nafsunya dengan sedikit makan dan minum, dan
mengurangi tidur. Ia berharap dengan semua itu, kendali segala apa yang ada di
pulau Jawa ini berada di tangannya dan berada di bawah kekuasaan dan
kerajaannya. Lembu Peteng terus menerus menetap di gunung itu dalam waktu yang
cukup lama. Hingga sebuah suara tanpa rupa berbisik kepadanya. Suara itu
berkata, "Pergilah dari tempat ini! Dan carilah satu di antara
guru-guru ( Syaikh ) yang hidup di masa
ini. Jika kamu telah menemukannya, maka mengabdilah padanya dan taatilah selalu
perintahnya." Setelah mendengar suara itu, Lembu Peteng pun meninggalkan
tempat menyepinya itu. Ia turun dari puncak gunung dan berkelana menyusuri
lembah-lembah gunung, naik ke ketinggian gunung-turun hingga ke kedalaman
jurang, dan bersusah melewati medan yang berat. Menjelajahi dari satu tempat ke
tempat lain, dari negeri satu ke negeri lain, dan satu desa satu ke desa lain.
Semua dilakukannya tanpa merasakan lezatnya makanan dan minuman serta ia tinggalkan
rasa enak (nyenyak) ketika ia beristirahat dan tidur. Seraya berharap keluhuran
derajat dan kemuliaan di antara manusia.
Lembu Peteng masih meneruskan
perjalanannya dan berkelana mengelilingi bumi hingga ia sampai di suatu tempat
yang mempunyai seorang pimpinan yang bernama Ki Tarub. Saat bertemu, Ki Tarub bertanya pada Lembu Peteng,
"Jika diperbolehkan aku tahu, gerangan hal apakah yang menyebabkan kamu
datang ke tempat ini hai anak muda?"
Lembu Peteng menjawab,
"Saya datang ke tempat anda untuk menyerahkan diri saya dan segala apa
yang saya miliki kepada anda agar saya bisa mengambil berkah dengan mengabdikan
diri saya pada anda." Ki Tarub tersenyum mendengar jawaban yang diutarakan
oleh Lembu Peteng. Sesaat Ki Tarub mengamati wajah Lembu Peteng. Ia manangkap
dari garis muka dan sorot matanya mengatakan bahwa pemuda yang ada di
hadapannya merupakan seorang anak raja. Maka dari itu, Ki Tarub mencoba
mengorek informasi dengan menanyakan siapa nama pemuda itu, siapa nama orang
tuanya, dan dari mana ia berasal. Lembu Peteng menjawab, "Nama saya Lembu
Peteng. Saya anak dari seorang wanita yang bernama Wandhan Kuning dari desa
Karang Jambu". Dari penuturan Lembu Peteng, Ki Tarub teringat bahwa raja
Brawijaya pernah mempunyai seorang istri yang bernama Wandhan Kuning. Ki Tarub
juga ingat dengan apa yang terjadi pada Brawijaya dan istrinya tersebut. Dan
bahwa Brawijaya membuang istrinya itu serta anaknya hingga akhirnya anak
Brawijaya tersebut berhadapan langsung dengan Ki Tarub.
Ki Tarub menerima kedatangan Lembu
Peteng dengan penuh kegembiraan. Dikatakan pada Lembu Peteng, "Anakku,
kedatanganmu adalah untuk mengabdi kepadaku. Maka lakukanlah dengan penuh
kesungguhan, keinginan yang kuat dan apa yang kamu lakukan niatkanlah untuk
mendapatkan apa yang kamu inginkan. Yakni kekuasaan kehormatan."
Lembu Peteng menjawab,
"Saya dengar dan patuhi perintah anda. Memang itulah tujuan dan maksud
yang saya inginkan dan juga impian yang selalu saya angan-angankan. Uluran
tangan Tuan untuk menerima pengabdian saya, sungguh merupakan kebahagiaan yang
sangat besar. Saya selalu mengharap berkah dari do'a tuan ".
Waktu terus berjalan. Lembu
Peteng terus menerus mengabdi kepada Ki Tarub siang dan malam. Dengan terus
mengabdi, ia tetap melakukan Riyadloh
atau Tirakat. Ki Tarub kagum terhadap
ketaatan dan pengabdian Lembu Peteng. Dan Ki tarub pun sangat menyukainya.
Hingga suatu saat Ki Tarub memanggil Lembu Peteng dan bekata kepadanya,
"Anakku, bersediakah kamu jika aku nikahkan kamu dengan anakku yang
bernama Nawang Sih?"
Lembu Peteng menjawab dengan
penuh kesopanan, "Saya mendengar dan mematuhi perintah tuan dengan senang
hati dan dengan segala penghormatan" Begitulah kiranya peristiwa yang
dialami oleh Lembu Peteng.
Dari cerita Raden Lembu Peteng
(Bondhan Kejawan) di atas, dapat di ambil hikmah bahwa seyogyanya generasi muda
sekarang memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur. Dan tidak hanya itu,
generasi muda sekarang harus rela meninggalkan kelezatan makanan dan minuman.
Serta harus bersedia meninggalkan nyenyaknya tidur di atas alas yang empuk
(bersedia bersusah payah). Dengan tujuan mencari derajat yang luhur dan
bersungguh-sungguh pula dalam mencapainya. Karena upah yang didapat oleh
seseorang itu berdasarkan jerih payah yang ia lakukan. Begitu pula dengan
derajat luhur dapat diperoleh dengan adanya usaha yang keras. Seperti yang
telah dikatakan oleh seorang penyair dalam syairnya;
Derajat yang luhur dapat diperoleh dengan kerja keras,
Maka barangsiapa yang menginginkan derajat yang luhur, hendaknya ia
selalu terjaga di waktu malam.
Jika engkau menginginkan derajat yang luhur akan tetapi pada malam hari
selalu dalam keadaan tidur,
Maka seperti halnya orang yang menyelam di dasar laut untuk mencari
mutiara.
Luhurnya derajat terletak pada cita-cita yang tinggi,
Dan luhurnya derajat seseorang terletak pada keterjagaan setiap malam.
Janganlah pernah merasa takut pada kesusahan yang mensera setiap hari,
Jika engkau memang berniat untuk mencari keluhuran.
Barangsiapa yang mencari derajat yang luhur tanpa bekerja keras dan bersusah
payah,
Maka orang itu telah menyianyiakan umurnya untuk mencari sesuatu yang
tidak mungkin adanya.
Wallohu A'lam, Hanya Alloh SWT
yang Maha Mangetahui.