Kajian ini merupakan translite dari kitab " AHLAL MUSAMAROH fi hikayatil aulia'il 'asyroh (MANISNYA OBROLAN MALAM, yang menceritakan wali sepuluh) yang disusun oleh Abul Fadlol bin Abdusy Syakur dari desa Senori, kabupaten Tuban.
Kajian ini diterbitkan setiap hari jumat
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Sayyid
Ibrahim terus menerus beribadah hingga ia menjadi Wali Alloh SWT dan masyhur
dengan sebutan Sunan Bonang. Salah
satu Karomah yang dimilikinya, yang
masih bisa terlihat sampai saat ini adalah adanya bekas kening, hidung, kedua
lutut, dan ujung-ujung telapak kakinya yang membekas di sebuah batu cadas yang
sangat keras. Dan batu itu terkenal dengan sebutan Sujudan. Hingga sekarang orang-orang banyak yang Tabarrukan (meminta berkah) di atas
puncak gunung tersebut (gunung Gading). Di dekat batu itu (Sujudan) terdapat
sebuah makam seorang wanita. Konon, ia adalah salah seorang putri dari
raja-raja Cina yang disebut dengan Putri
Cempa. Alkisah, Putri Cempa telah masuk islam dan bertemu dengan Sayyid
Ibrahim yang sholat di atas batu karang. Dari pertemuan itu, Putri Cempa merasa
tertarik dengan Sayyid Ibrahim dan berhenti di tempat itu untuk menunggu Sayyid
Ibrahim selesai sholat. Namun, Sayyid Ibrahim tidak selesai sholatnya hingga
Putri Cempa meninggal. Ia dimakamkan di tempat itu juga. Di makamnya dibangun
sebuah Cungkup (rumah kecil). Di
bawah tiang-tiangnya terdapat tulang punggung ikan laut.
Diceritakan
pula salah satu Karomah Sayyid
Ibrahim adalah dua buah batu yang menyerupai seekor babi hutan jantan yang
sedang mengkawini babi hutan betina.
Alkisah suatu hari Sayyid Ibrahim lewat bersama beberap murid (Santrinya) di
jalan itu. Tiba-tiba di depan Sayyid Ibrahim ada seekor babi jantan sedang mengkawini babi betina. Salah seorang
santrinya mengira bahwa Sayyid Ibrahim tidak mengetahuinya. Maka sang santri
berkata kepada Sayyid Ibrahim, "Di depan anda ada seekor babi jantan yang
sedang mengkawini babi betina."
Dan Sayyid
Ibrahim menjawab, "Tidak. Tapi itu adalah dua buah batu." Seketika
itu pula dua ekor babi itu menjadi dua buah batu. Batu tersebut masih ada
sampai sekarang di sebuah tempat yang bernama Watu C`el`eng. Watu C`el`eng berada di desa Karas yang dari arah kota Sedan
di daerah Rembang. Dan masih banyak
lagi dari Karomah Sayyid Ibrahim.
Adapun
Sayyid Qosim bin Sayyid Rahmad kisahnya akan dituturkan pada bab selanjutnya.
Karena pada saat itu Sayyid Qosim belum mencapai usia dewasa.
Kemudian
Sayyid Utsman Al Hajj saudara Al Hajj Utsman, yaitu ia putra dari Sayyid Raja
Pendita, ia menikah dengan seorang wanita bernama Dewi Sari. Ia adalah putri dari Raden Syukur bin Arya Teja yang
telah lebih dulu dituturkan kisahnya. Sayyid Utsman Al Hajj menjadi imam bagi penduduk Jipang dan Panolan. Ia
menetap di sebuah desa yang bernama Ngudung.
Serta ia mengikuti jejak para wali Alloh SWT, meninggalkan gemerlap duniawi dan
terus menerus berriyadloh serta
berkonsentrasi untuk beribadah. Dan jadilah ia seorang wali Alloh SWT dan
terkenal dengan sebutan Sunan Ngudung.
Dari pernikahannya dengan Dewi Sari, ia dikaruniai seorang putri bernama Sujinah dan seorang putra bernama Amir Al Hajj.
Adapun
Nyai Gedhe Tondho binti Sayyid Raja Pendita dinikahi oleh Sayyid Kholifah
Husain. Ia adalah seorang imam bagi
penduduk Madura. Ia menetap di sebuah
desa bernama Kertayasa. Di sana ia
menyendiri untuk lebih berkonsentrasi dalam beribadah dan Tirakat untuk memerangi hawa nafsunya. Dan ia pun menjadi seorang
wali Alloh SWT yang terkenal dengan sebutan Sunan
Kertayasa. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai seorang putra bernama Kholifah Shughro. Atas jasanya banyak
penduduk daerah setempat yang masuk islam.
Seperti
dituturkan pada bagian depan, bahwa Raden Syukur memiliki seorang putra bernama
Raden Syahid. Kemudian Raden Syahid menikah dengan Sayyidah Saroh (Dewi Sarah)
binti Maulana Ishaq, adik kandung dari Sayyid Abdul Qodir. Raden Syahid
dijelaskan adalah seorang imam bagi
penduduk Dermayu dan Manulan. Ia menetap di sebuah desa bernama
Kali Jaga. Di desa itu ia menyendiri
untuk beribadah dan menyepi untuk memerangi hawa nafsunya. Serta terus menerus
berriyadloh sampai jadilah ia seorang
wali Alloh SWT. Banyak dari penduduk setempat mengikuti beliau dalam hal
ketaatannya. Dan ia tetap saja menyendiri dan menyepi dari hiruk pikuk manusia,
berriyadloh, serta mempersiapkan diri
menghadapi kehidupan akhirat dan meninggalkan kehidupan duniawi secara
menyeluruh. Ia mempunyai tiga orang putra-putri, yaitu Raden Sa'id, Sayyidah Ruqoyyah, dan Sayyidah Rofi'ah.
Sayyid
'Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qodir, Sayyid Amir Husain bin Al Hajj Utsman,
Sayyid Amir Al Hajj bin Sayyid Utsman Al Hajj, Raden Sa'id bin Raden Syahid,
dan Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin, yang kesemuanya telah dituturkan di muka.
Alkisah mereka pergi ke Ampel untuk berkhidmah kepada Sayyid Rahmad dan menimba
ilmu dari beliau. Di sini yang bertindak sebagai pimpinan para murid atau
santri dalam masa menimba ilmu adalah Sayyid Qosim bin Sayyid Rahmad.
Dijelaskan
pada bab yang telah lalu bahwa ada seorang bayi dari Sayyid Maulana Ishaq yang
dibuang (ke laut) oleh raja Blambangan. Kemudian bayi itu ditemukan oleh para
pedagang dari saerah Gresik. Selanjutnya mereka menyerahkan bayi itu kepada
Nyai Gedhe. Ia kemudian dikenal dengan Nyai
Gedhe Tondho Pinatih. Bayi itu diberi nama oleh Nyai Gedhe dengan Raden
Paku. Dijelaskan pula bahwa Nyai Gedhe mendidik dan mengabdosi bayi itu sebagai
anak. Hingga sampailah bayi itu pada umur lima belas tahun dan mulai belajar
ilmu syari'at agama islam.
Suatu saat
ia mendengar bahwa di desa Ampel yang ada di daerah Surabaya terdapat seorang
yang sangat alim yang mengajarkan kepada orang-orang tentang tiga disiplin
ilmu, yaitu syari'at, thoriqoh (tarekat) dan haqiqot (hakekat). Berkatalah
Raden Paku kepada ibunya (Nyai Gedhe), " Ibu...aku mendengar bahwa di
daerah surabaya ada seorang yang sangat alim dan dikenal sebagai salah satu
wali Alloh SWT."
Nyai Gedhe
bekata, " Benar apa yang kamu katakan anakku. Di sana memang ada seorang
wali yang bernama Sayyid Rahmad dan berjuluk Sunan Maqdum. Ia menetap dan
tinggal di desa Ampel."
Dengan
penuh semangat Raden Paku berkata, "Aku ingin pergi kepadanya dan
berkhidmat padanya. Namun, jika tidak keberatan, aku meminta ibu untuk
menemaniku pergi ke Ampel serta untuk menyerahkanku kepada Raden rahmad."
Nyai Gedhe berkata, "Baiklah, lakukan itu
anakku. Dan aku akan pergi bersamamu." Pergilah raden Paku dan ibunya ke
Ampel. Ketika mereka sampai di Ampel, ibunya langsung menemui Raden Rahmad.
Lalu ia berkata, "Aku datang ke tempat ini untuk menyerahkan anakku kepada
Anda. Karena anakku itu berkeinginan untuk menimba ilmu dari Anda, yang ia
butuhkan dalam menjalankan agamanya."
Raden
Rahmad menjawab, "Dan di manakah anakmu itu?".
"
Sekarang ia ada di luar dan berlindung di bawah pohon Tanbul (Tanbul). Aku akan memanggilnya untuk bertemu dengan Anda."
Jawab Nyai Gedhe. Maka Raden Rahmad pun memanggilnya. Raden Paku akhirnya
menemui Raden Rahmad dan duduk di depannya. Ketika melihat Raden Paku, sejenak
Raden Rahmad terdiam dan mengangan-angan wajahnya. Raden Rahmad teringat akan
apa yang telah dialami oleh Sayyid Maulana Ishaq dan anaknya. Karena ia melihat
ada sedikit keserupaan antara wajah Raden Paku dan Sayyid Maulana Ishaq. Lalu
bertanyalah Raden Rahmad kepada Nyai Gedhe, "Apakah ini anak kandungmu
sendiri ataukah dari hasil engkau mengadopsi?" Dari situ kemudian Nyai
Gedhe menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Jika
apa yang diceritakan olehmu tentang anak ini adalah memang benar adanya, maka
tidak salah lagi, ia adalah anak dari pamanku. Dan aku akan mengangkatnya
sebagai anak bersamamu juga." Kata Raden Rahmad.
"Dan
adakah orang yang lebih pantas mengangkatnya sebagai anak daripada Anda? Aku
menyerahkannya kepada anda untuk Anda ajar tentang budi pekerti dan ilmu-ilmu
agama lainnya." Nyai gedhe kemudian meninggalkan Raden Paku di tempat
Raden Rahmad. Raden Rahmad mengajarkan kepadanya budi pekerti yang baik dan
ilmu-ilmu yang lainnya. Raden Paku mengikuti jalan Thoriqot An Naqsabandiyyah. Inilah cerita tentang
Raden Paku.