Selamat datang di Website PP. Adnan Al Charish

kajian Wali SOngo bag. 11

PAK WALANG
Kajian ini merupakan translite dari kitab " AHLAL MUSAMAROH fi hikayatil aulia'il 'asyroh (MANISNYA OBROLAN MALAM, yang menceritakan wali sepuluh) yang disusun oleh Abul Fadlol bin Abdusy Syakur dari desa Senori, kabupaten Tuban.
Kajian ini diterbitkan setiap hari jumat
----------------------------------------------------------------------------------------------------



Sayyid Ibrahim terus menerus beribadah hingga ia menjadi Wali Alloh SWT dan masyhur dengan sebutan Sunan Bonang. Salah satu Karomah yang dimilikinya, yang masih bisa terlihat sampai saat ini adalah adanya bekas kening, hidung, kedua lutut, dan ujung-ujung telapak kakinya yang membekas di sebuah batu cadas yang sangat keras. Dan batu itu terkenal dengan sebutan Sujudan. Hingga sekarang orang-orang banyak yang Tabarrukan (meminta berkah) di atas puncak gunung tersebut (gunung Gading). Di dekat batu itu (Sujudan) terdapat sebuah makam seorang wanita. Konon, ia adalah salah seorang putri dari raja-raja Cina yang disebut dengan Putri Cempa. Alkisah, Putri Cempa telah masuk islam dan bertemu dengan Sayyid Ibrahim yang sholat di atas batu karang. Dari pertemuan itu, Putri Cempa merasa tertarik dengan Sayyid Ibrahim dan berhenti di tempat itu untuk menunggu Sayyid Ibrahim selesai sholat. Namun, Sayyid Ibrahim tidak selesai sholatnya hingga Putri Cempa meninggal. Ia dimakamkan di tempat itu juga. Di makamnya dibangun sebuah Cungkup (rumah kecil). Di bawah tiang-tiangnya terdapat tulang punggung ikan laut.
Diceritakan pula salah satu Karomah Sayyid Ibrahim adalah dua buah batu yang menyerupai seekor babi hutan jantan yang sedang mengkawini babi hutan betina. Alkisah suatu hari Sayyid Ibrahim lewat bersama beberap murid (Santrinya) di jalan itu. Tiba-tiba di depan Sayyid Ibrahim ada seekor babi jantan sedang mengkawini babi betina. Salah seorang santrinya mengira bahwa Sayyid Ibrahim tidak mengetahuinya. Maka sang santri berkata kepada Sayyid Ibrahim, "Di depan anda ada seekor babi jantan yang sedang mengkawini babi betina."
Dan Sayyid Ibrahim menjawab, "Tidak. Tapi itu adalah dua buah batu." Seketika itu pula dua ekor babi itu menjadi dua buah batu. Batu tersebut masih ada sampai sekarang di sebuah tempat yang bernama Watu C`el`eng. Watu C`el`eng berada di desa Karas yang dari arah kota Sedan di daerah Rembang. Dan masih banyak lagi dari Karomah Sayyid Ibrahim.
Adapun Sayyid Qosim bin Sayyid Rahmad kisahnya akan dituturkan pada bab selanjutnya. Karena pada saat itu Sayyid Qosim belum mencapai usia dewasa.
Kemudian Sayyid Utsman Al Hajj saudara Al Hajj Utsman, yaitu ia putra dari Sayyid Raja Pendita, ia menikah dengan seorang wanita bernama Dewi Sari. Ia adalah putri dari Raden Syukur bin Arya Teja yang telah lebih dulu dituturkan kisahnya. Sayyid Utsman Al Hajj menjadi imam bagi penduduk Jipang dan Panolan. Ia menetap di sebuah desa yang bernama Ngudung. Serta ia mengikuti jejak para wali Alloh SWT, meninggalkan gemerlap duniawi dan terus menerus berriyadloh serta berkonsentrasi untuk beribadah. Dan jadilah ia seorang wali Alloh SWT dan terkenal dengan sebutan Sunan Ngudung. Dari pernikahannya dengan Dewi Sari, ia dikaruniai seorang putri bernama Sujinah dan seorang putra bernama Amir Al Hajj.
Adapun Nyai Gedhe Tondho binti Sayyid Raja Pendita dinikahi oleh Sayyid Kholifah Husain. Ia adalah seorang imam bagi penduduk Madura. Ia menetap di sebuah desa bernama Kertayasa. Di sana ia menyendiri untuk lebih berkonsentrasi dalam beribadah dan Tirakat untuk memerangi hawa nafsunya. Dan ia pun menjadi seorang wali Alloh SWT yang terkenal dengan sebutan Sunan Kertayasa. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai seorang putra bernama Kholifah Shughro. Atas jasanya banyak penduduk daerah setempat yang masuk islam.
Seperti dituturkan pada bagian depan, bahwa Raden Syukur memiliki seorang putra bernama Raden Syahid. Kemudian Raden Syahid menikah dengan Sayyidah Saroh (Dewi Sarah) binti Maulana Ishaq, adik kandung dari Sayyid Abdul Qodir. Raden Syahid dijelaskan adalah seorang imam bagi penduduk Dermayu dan  Manulan. Ia menetap di sebuah desa bernama Kali Jaga. Di desa itu ia menyendiri untuk beribadah dan menyepi untuk memerangi hawa nafsunya. Serta terus menerus berriyadloh sampai jadilah ia seorang wali Alloh SWT. Banyak dari penduduk setempat mengikuti beliau dalam hal ketaatannya. Dan ia tetap saja menyendiri dan menyepi dari hiruk pikuk manusia, berriyadloh, serta mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat dan meninggalkan kehidupan duniawi secara menyeluruh. Ia mempunyai tiga orang putra-putri, yaitu Raden Sa'id, Sayyidah Ruqoyyah, dan Sayyidah Rofi'ah.
Sayyid 'Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qodir, Sayyid Amir Husain bin Al Hajj Utsman, Sayyid Amir Al Hajj bin Sayyid Utsman Al Hajj, Raden Sa'id bin Raden Syahid, dan Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin, yang kesemuanya telah dituturkan di muka. Alkisah mereka pergi ke Ampel untuk berkhidmah kepada Sayyid Rahmad dan menimba ilmu dari beliau. Di sini yang bertindak sebagai pimpinan para murid atau santri dalam masa menimba ilmu adalah Sayyid Qosim bin Sayyid Rahmad.
Dijelaskan pada bab yang telah lalu bahwa ada seorang bayi dari Sayyid Maulana Ishaq yang dibuang (ke laut) oleh raja Blambangan. Kemudian bayi itu ditemukan oleh para pedagang dari saerah Gresik. Selanjutnya mereka menyerahkan bayi itu kepada Nyai Gedhe. Ia kemudian dikenal dengan Nyai Gedhe Tondho Pinatih. Bayi itu diberi nama oleh Nyai Gedhe dengan Raden Paku. Dijelaskan pula bahwa Nyai Gedhe mendidik dan mengabdosi bayi itu sebagai anak. Hingga sampailah bayi itu pada umur lima belas tahun dan mulai belajar ilmu syari'at agama islam.
Suatu saat ia mendengar bahwa di desa Ampel yang ada di daerah Surabaya terdapat seorang yang sangat alim yang mengajarkan kepada orang-orang tentang tiga disiplin ilmu, yaitu syari'at, thoriqoh (tarekat) dan haqiqot (hakekat). Berkatalah Raden Paku kepada ibunya (Nyai Gedhe), " Ibu...aku mendengar bahwa di daerah surabaya ada seorang yang sangat alim dan dikenal sebagai salah satu wali Alloh SWT."
Nyai Gedhe bekata, " Benar apa yang kamu katakan anakku. Di sana memang ada seorang wali yang bernama Sayyid Rahmad dan berjuluk Sunan Maqdum. Ia menetap dan tinggal di desa Ampel."
Dengan penuh semangat Raden Paku berkata, "Aku ingin pergi kepadanya dan berkhidmat padanya. Namun, jika tidak keberatan, aku meminta ibu untuk menemaniku pergi ke Ampel serta untuk menyerahkanku kepada Raden rahmad."
Nyai  Gedhe berkata, "Baiklah, lakukan itu anakku. Dan aku akan pergi bersamamu." Pergilah raden Paku dan ibunya ke Ampel. Ketika mereka sampai di Ampel, ibunya langsung menemui Raden Rahmad. Lalu ia berkata, "Aku datang ke tempat ini untuk menyerahkan anakku kepada Anda. Karena anakku itu berkeinginan untuk menimba ilmu dari Anda, yang ia butuhkan dalam menjalankan agamanya."
Raden Rahmad menjawab, "Dan di manakah anakmu itu?".
" Sekarang ia ada di luar dan berlindung di bawah pohon Tanbul (Tanbul). Aku akan memanggilnya untuk bertemu dengan Anda." Jawab Nyai Gedhe. Maka Raden Rahmad pun memanggilnya. Raden Paku akhirnya menemui Raden Rahmad dan duduk di depannya. Ketika melihat Raden Paku, sejenak Raden Rahmad terdiam dan mengangan-angan wajahnya. Raden Rahmad teringat akan apa yang telah dialami oleh Sayyid Maulana Ishaq dan anaknya. Karena ia melihat ada sedikit keserupaan antara wajah Raden Paku dan Sayyid Maulana Ishaq. Lalu bertanyalah Raden Rahmad kepada Nyai Gedhe, "Apakah ini anak kandungmu sendiri ataukah dari hasil engkau mengadopsi?" Dari situ kemudian Nyai Gedhe menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Jika apa yang diceritakan olehmu tentang anak ini adalah memang benar adanya, maka tidak salah lagi, ia adalah anak dari pamanku. Dan aku akan mengangkatnya sebagai anak bersamamu juga." Kata Raden Rahmad.
"Dan adakah orang yang lebih pantas mengangkatnya sebagai anak daripada Anda? Aku menyerahkannya kepada anda untuk Anda ajar tentang budi pekerti dan ilmu-ilmu agama lainnya." Nyai gedhe kemudian meninggalkan Raden Paku di tempat Raden Rahmad. Raden Rahmad mengajarkan kepadanya budi pekerti yang baik dan ilmu-ilmu yang lainnya. Raden Paku mengikuti jalan Thoriqot An Naqsabandiyyah. Inilah cerita tentang Raden Paku. 

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.