Kajian ini merupakan translite dari kitab " AHLAL MUSAMAROH fi hikayatil aulia'il 'asyroh (MANISNYA OBROLAN MALAM, yang menceritakan wali sepuluh) yang disusun oleh Abul Fadlol bin Abdusy Syakur dari desa Senori, kabupaten Tuban.
Kajian ini diterbitkan setiap hari jumat
----------------------------------------------------------------------------------------------------
1.3. Raden Fatah dan Raden Husain
Sementara itu, raja budha yang
berkuasa di pulau Jawa saat itu
bernama Rangga Wijaya. Atau yang
lebih dikenal dengan nama Brawijaya.
Ia adalah raja budha terakhir yang ada di pulau Jawa. Ia pula adalah raja
Majapahit terakhir yang memerintah di kerajaan Majapahit tersebut.
Pada keterangan sebelumnya,
diceritakan bahwa raja Brawijaya menikah dengan anak perempuan dari raja negeri
Campa yang bernama Marta Ningrum. Ia memiliki tiga orang
anak. Anak pertamanya adalah perempuan bernama Putra Adhi. Ia menjadi istri seorang patih yang bernama Dhaya Ningrat. Putra kedua Brawijaya
adalah Raden Lembu Peteng. Ia menjadi
penguasa di daerah Madura. Yang ketiga dan terakhir adalah Raden Gugur. Ia tidak membawahi atau menguasai suatu daerah
kekuasaan tertentu. Akan tetapi ia lebih memilih untuk mengabdi pada ayahnya
dan membantunya dalam urusan kerajaan.
Dari istri yang lain, yaitu
anak dari Seksa Dhana, Brawijaya
mempunyai seorang anak laki-laki bernama Arya
Dhamar. Oleh ayahnya, Brawijaya, ia diberi kekuasaan di daerah Palembang
dan sekitarnya. Arya Dhamar mempunyai dua orang anak dari perkawinannya dengan
seorang istri yang berasal dari daerah Ponorogo.
Yaitu Bethara Kathung dan Ki Jaran Penolih. Adapun Bethoro Kathung
menguasai daerah Ponorogo. Sedangkan Ki Jaran Penolih menguasai daerah Sumenep
dan Sampang yang merupakan bagian dari pulau Madura.
Kemudian Brawijaya menikah
dengan salah satu anak dari raja Cina. Kecantikan wanita itu tidak tertandingi
dan Brawijaya sangat mencintainya. Saat ia mengandung dan akan melahirkan,
Brawijaya memerintahkan anaknya, Arya Dhamar, untuk membawanya ke Palembang.
Dan Brawijaya memberikan istrinya itu kepada Arya Dhamar dan berpesan agar ia
tidak menyentuh istrinya itu sampai ia melahirkan anaknya. Arya Dhamar pun
membawanya ke Palembang. Pada saat di Palembang wanita itu melahirkan anaknya
pada usia kandungan sebelas bulan. Ia melahirkan seorang anak laki-laki yang
sangat tampan, yang ketampanannya terlukiskan dalam sebuah syair;
Ia
bagaikan bulan purnama yang memecah kegelapan malam,
Yang
terbit di kegelapan malam dengan berkilau.
Sebuah
sinar yang menyinari seluruh penjuru,
Sinarnya
yang terang membuka pintu Hidayah di atas bumi.
Arya Dhamar memberi nama anak
itu dengan sebutan Raden Fatah. Nama
ini sangat cocok dengan anak itu. Karena kelak ia adalah orang yang membuka
pintu da'wah islam di pulau Jawa. Setelah kelahiran Raden Fatah, Arya Dhamar
kemudian memperistri ibunya (istri Brawijaya dari negeri Cina). Dengan Arya
Dhamar ibu Raden Fatah mengandung seorang anak. Dan pada saat umur kandungannya
menginjak sembilan bulan, ia melahirkan anak laki-laki yang sangat tampan pula.
Keningnya bagaikan bulan sabit pada malam tanggal satu yang menghilangkan
setiap cacat dan noda dari anak tersebut. Arya Dhamar menyebut anak itu dengan
nama Raden Husain. Ketampanan anak
itu terlukis dalam syair berikut;
Keningnya
yang ada di bawah rambutnya,
Bagaikan bulan sabit di antara kegelapan
malam.
Yang
memperlihatkan kita pada kedua pelipisnya
yang bagaikan purnama yang benderang,
Dengan
parasnya yang tergali dari inti keindahan.