Kajian ini merupakan translite dari kitab " AHLAL MUSAMAROH fi hikayatil aulia'il 'asyroh (MANISNYA OBROLAN MALAM, yang menceritakan wali sepuluh) yang disusun oleh Abul Fadlol bin Abdusy Syakur dari desa Senori, kabupaten Tuban.
Kajian ini diterbitkan setiap hari jumat
----------------------------------------------------------------------------------------------------
1.5. Gelang dan Kalung Kiriman Raja
Campa
Pada suatu ketika, raja
Brawijaya terlibat perbincangan yang hangat
dengan istrinya yang bernama Marta Ningrum. Istrinya, Marta Ningrum,
menceritakan bahwa ia memililki seorang adik perempuan yang bernama Chandra
Wulan. Adiknya itu juga memilliki wajah
yang sangat cantik. Kecantikannya jika digambarkan merupakan salah satu
keajaiban zaman yang ada. Apabila di lukiskan dalam sebuah syair adalah sebagai
berikut;
Rambut
yang hitam bagaikan kegelapan malam tergerai di atas kepalanya,
Wajahnya
bersinar bagaikan lentera di rumah tetangga itu dan giginya berjajar tersusun
rapi.
Perawakan
tubuhnya seperti pohon Ban,
Bokongnya
besar seperti gunung pasir dan bergoyang-goyang jika dilihat dari belakangnya.
Orang-orang
yang mensifatinya begitu selalu beerpura-pura tidak mengetahui ketika mereka
ditanya,
Apakah ia
termasuk manusia atau bukan?
Medengarkan penuturan istrinya
tentang adik perempuannya itu, Brawijaya menjadi tertarik untuk
mempersuntingnya meskipun kakaknya telah menjadi istrinya. Segeralah ia panggil
patih dan juga salah satu orang kepercayaannya di kerajaan Majapahit yang
bernama Arya Bangah. Saat ia berada
di hadapan Brawijaya, berkatalah Brawijaya kepadanya, "Saya mengutusmu
pergi menemui raja negeri Campa. Jika kamu telah sampai kepadanya, maka
berkatalah, ' Hamba adalah utusan raja Brawijaya kepada Tuan untuk mengkabarkan
bahwa beliau menyukai adik perempuan tuan, Chandra Wulan, sebagai istrinya.
Untuk itu akan lebih baik jika anda segera mengirimkannya kepada beliau"
Seketika Arya Bangah menjawab," Baiklah
tuanku Paduka raja." Arya Bangah berpamitan kepada Brawijaya. Dan
Arya Bangah pun pergi menuju negeri Campa. Saat perjalanan itu syair
berdendangan melukiskan keadaan waktu itu. Yang dapat terejawantahkan dengan
ucapan Arya Bangah;
Aku telah
pergi, dan aku tidak pergi untuk menunaikan hajatku,
Akan tetapi
untuk mencari ridlomu yang menjadi angan-angan.
Apabila
aku tidak melakukannya, niscaya hatiku tidak akan merasakan ketakukan dan
kekuatiran,
Dengan
menjelajahi padang yang luas dengan sengatan matahari yang sangat panas.
Hanya
dengan satu tujuan menemui seorang raja di suatu negeri,
Dan aku
menemuinya untuk mengambil anak gadisnya yang bagaikan rembulan yang agung.
(itu aku
lakukan) Dengan hati yang selalu diliputi rasa takut,
Seperti
seekor burung Gelatik yang diburu oleh burung Rajawali yang liar.
Semoga aku
dapat menunaikan hajat tuanku,
Dengan itu
(semoga) aku dapat memperoleh kebahagiaan serta kemuliaan yang diagungkan.
Arya Bangah terus berjalan
hingga sampailah ia di negeri Campa. Saat ia memasuki negeri itu, ia mendengar
berita penting. Bahwa Raja Campa telah wafat dan raja pengganti sesudahnya
adalah anaknya yang bernama Raden Cengkara. Seperti yang telah dituturkan di
muka. Dan anak perempuannya telah menikah dengan seseorang yang bernama Ibrahim
Al Asmar. Dari pernikahan mereka itu telah lahir tiga orang anak. Mendengar
berita itu Arya Bangah sangat sedih. Dengan pasti ia merasa bahwa ia akan
pulang dengan tangan kosong tanpa membawa hasil apapun.
Pada waktu ia menghadap raja
Cengkara, Arya Bangah di tanya tentang nama, berasal dari negeri mana, dan apa
keperluannya menghadap. Maka Arya Bangah pun menjawab, "Tuanku, hamba
adalah orang Jawa. Nama hamba adalah Arya Bangah. Hamba datang sebagai seorang
utusan kepada Paduka Raja dari Raja agung Brawijaya. Dan hamba juga
menyampaikan salam dari beliau serta permaisurinya yang tidak lain adalah
saudari kandung tuan, Marta Ningrum, sebagai rasa belasungkawa atas wafatnya
ayahanda tuan belum lama ini. Beliau berdua telah memaafkan dan tidak akan
mencela tuan karena anda tidak memberi kabar tentang wafatnya ayahanda tuan.
Dan beliau mengetahui kabar itu dari seorang laki-laki dari daerah Kalkutta yang datang menghadap
beliau."
Raja Cengkara pun menjawab,
"Saya tidak memberi berita saudaraku raja yang agung Brawijaya tentang
wafatnya ayahku, adalah karena saya merasa meremehkan dan menyepelekan diri
saya. Lalu saya berkata pada diri saya, 'jika aku memberitahu beliau tentang
wafatnya ayahanda, bisa-bisa beliau akan murka kepadaku karena tidak di
beritahu sebelumnya pada saat ayahanda sakit ."
Kemudian raja Cengkara memberi
pakaian yang paling bagus kepada Arya Bangah dan memberi penyambutan dengan
penuh kemuliaan. Arya Bangah sama sekali tidak mengutarakan tentang maksud
sebenarnya ia diutus raja Brawijaya ke negeri Campa. Akan tetapi ia membuat cerita
dan alasan sendiri mengapa ia sampai di negeri Campa. Saat Arya Bangah
berpamitan kepada raja Cengkara untuk pulang, raja Cengakara berkata kapada
Arya Bangah, "Saya mengutusmu untuk membawa gelang serta kalung ini kepada
saudara perempuanku Marta Ningrum, istri Raja Brawijaya. Dan berikanlah gelang
serta kalung ini kepadanya." Kemudian Arya Bangah minta izin undur diri
kepada raja Cengkara. Arya Bangah pun terus mengadakan perjalanan hingga tiba
di kerajaan Majapahit dan langsung menemui raja Brawijaya. Saat menghadap raja
Brawijaya, Arya Bangah menjelaskan secara panjang lebar tentang hasil dari
perjalanannya ke negeri Campa. Ia berkata, "Hamba telah pergi dan tiba di
negeri Campa untuk menunaikan kewajiban Khidmah
kepada raja yang hamba emban. Namun sayang, perjalanan hamba terbilang rugi dan
usaha hamba pun sia-sia dengan tanpa hasil yang didapat. Karena anak dari raja
Campa, Chandra Wulan, telah dinikahi oleh seorang laki-laki yang berasal dari
tanah Arab yang bernama Ibrahm Al Asmar. Dan dari pernikahan itu, mereka telah
dikaruniai tiga orang anak. Sedang raja Campa telah wafat hanya berselang
beberapa hari saja dengan kedatangan hamba ke negeri Campa itu. Raja pengganti
sesudahnya adalah raja Cengkara, anak laki-laki raja. Dan ini adalah gelang dan
kalung kiriman dari beliau untuk diberikan kepada saudarinya, permaisuri Marta
Ningrum."
Brawijaya berkata,
"Pergilah dan berikan sendiri gelang dan kalung itu kepada Marta Ningrum.
Ingat! Jangan pernah mengabarkan kepadanya tentang kematian ayahnya. Karena
saya khawatir ia akan merasa susah dan sedih ketika ia mendengar kematian
ayahnya darimu." Arya Bangah pergi ke rumah Brawijaya dan bertemu langsung
dengan Marta Ningrum. Ia segera menyerahkan kiriman tersebut kepada Marta
Ningrum. Dan saat Marta Ningrum
menerimanya dan memastikan bahwa itu benar-benar kiriman dari saudaranya,
seketika ia menjerit dan jatuh pingsan. Seluruh penghuni rumah itu terkejut
karena jeritan dan tangisan Marta Ningrum. Semuanya berusaha menenangkan dan
meredakan tangisan Marta Ningrum. Gemuruh pun tak terelakan menggema di dalam
rumah itu. Ketika Brawijaya mendengar kabar itu, segera ia menuju rumahnya. Di
dalam hati kecil Brawijaya menyimpan prasangka buruk kepada Arya Bangah. Karena
mungkin yang menjadi penyebab peristiwa itu adalah Marta Ningrum diberi kabar
tentang kematian ayahnya oleh Arya Bangah. Maka (untuk nemastikannya) Brawijaya
bertanya kepada istrinya, Marta ningrum, "Permaisuriku, kiranya apa yang
menjadi sebab kamu menjerit, menangis dan jatuh pingsan? ".
Marta Ningrum menjawab, "Saya menangis
karena kematian ayahku"
"Lalu siapa yang memberi
kabar itu? Sedang tidak pernah datang surat ataupun utusan yang membawa kabar
itu ", Lanjut Brawijaya.
"Dahulu ayahku pernah
berjanji kepadaku, bahwa beliau akan berwasiat untuk mengirimkan
gelang dan kalung ini kepadaku ketika beliau telah wafat. Dan sekarang
gelang dan kalung ini telah dikirimkan kepadaku. Maka dari itu aku dapat
mengetahui bahwa ayahku telah meninggal." Ini adalah cerita dari Brawijaya
dan istrinya Marta Ningrum.