Selamat datang di Website PP. Adnan Al Charish

Kyai Kok Takut Kyai


Ah, dasar Badrun mau apalagi dia kali ini.
Suasana di dalam maupun di luar pondok begitu ramai. Orang-orang pada hilir-mudik ke sana kemari, panitia haul tampaknya juga sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara haul masyayikh tahun ini, sedang dia celingak-celinguk dari satu kamar ke kamar lain, seperti sedang mencari sesuatu.
“Thot, ... bisa bantu aku?”, yang ditanya tak menghiraukan sama sekali, Senthot masih tetap pada kesibukannya membereskan kamar.
“Senthot ... bisa bantu aku nggak??” tanya Badrun lagi. Senthot berpaling menghadap Badrun sambil berkacak pinggang, “bantu apa lagi Drun, aku sibuk nih, nanti malam orang tuaku mau datang dan aku nggak ingin kamar ini kelihatan berantakan, jadi kurapikan; sudah-sudah, sana! Aku nggak bisa” katanya sewot.
“Huh... orang tua mau datang aja kayak orang mau menyambut kunjungan presiden, kampret!!!” Badrun mulai jengkel, lalu pergi dan kembali mencari-cari, kemudian “nah... ini dia”, begitu gembira dia menemukan sebuah sorban di kamar sebelah. Buru-buru ia masukkan sorban itu ke dalam tas dengan satu pakaian qamis dan sebuah tasbih besar.
Sehabis jamaah shalat Isya’ ia kumpulkan bolo-bolonya kemudian keluar pondok menenteng sebuah tas. Teman-temannya masih belum tahu mau apa Badrun ini. Sesampainya di masjid depan pondok Badrun membuka tasnya dan mengeluarkan semua isinya. Dia berganti pakaian layaknya seorang kiai, dengan qamis panjang, sorban melilit di kepalanya dan sebuah tasbih besar yang terus-menerus berputar di jari kanannya.
“Nanti kalian berjalan beriringan di belakangku, dan awas jangan cengengesan, mengerti” dia memberi instruksi kepada teman-temannya. “Ayo jalan, eh tunggu... sandal ini kayaknya kurang pantas bagi seorang kiai Badrun, biar kupakai sandalmu ya...?”, dia ambil sandal temannya yang lebih bagus dari pada sandal bututnya sendiri.
Mereka berjalan beriringan, Badrun berjalan paling depan dengan mulut komat-kamit dan tangan memutar tasbih.
Sesampainya di depan gerbang pondok. “Selamat datang, monggo-monggo pak kiai, silahkan, tempat duduknya di sebelah sana, di depan podium” sambut panitia penerima tamu yang terdiri dari beberapa tokoh masyarakat setempat, dan sepanjang jalan orang-orang berebut menyalami dan mencium tangan Badrun sampai ditempat duduk yang ditunjukkan panitia. Teman-teman yang tadi mengiring sampai ditempat penerima tamu hanya bisa menahan tawa.
Badrun duduk dengan santai sambil terus komat-kamit dan tangannya memutar tasbih. Kursi kanan-kirinya masih kosong; tiba-tiba.
“Assalamu’alaikum” sebuah suara mengejutkan Badrun, dia menoleh, ternyata hadlratusyaikh pengasuh pondok sudah duduk disampingnya.
“Wa ... wa’alaikum salam” jawabnya terbata-bata, dia gugup dan takut jangan-jangan mbah kiai mengenalinya. Dia tundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Maaf, baru bisa menemui sampeyan saat ini, sudah lama datangnya?”, mbah kiai mulai membuka pembicaraan, “oh, lumayan kiai!” jawab Badrun singkat, tubuhnya semakin gemetar, keringat dingin mulai membasahi wajah dan tubuhnya.
Setelah beberapa lama Badrun tak kuat lagi menahan kecemasan hatinya, dari pada nanti tertangkap basah jadi kiai palsu lebih baik lari, pikirnya.
“Maaf, kiai, izinkan saya meninggalkan tempat ini sebentar, saya mau qadlil hajat kiai!” ungkap Badrun sambil terus menundukkan kepala.
“O... silahkan... silahkan, nanti biar panitia yang mengantar ke kamar kecil” mbah kiai memberi izin.
Langsung saja Badrun bergegas pergi dengan langkah cepat, setelah agak jauh dari mbah kiai, dia angkat pakaiannya dan lari meninggalkan lokasi pengajian. Orang-orang pada heran, terutama para panitia melihat seorang tamu undangan berlari meninggalkan tempat itu.
Teman-teman Badrun yang dari tadi memperhatikan Badrun dari jauh, melihat Badrun kabur juga ikut-ikutan kabur. Suasana menjadi gaduh, undangan yang lain pada bingung, membuat panitia panik.
Sementara Badrun dan teman-temannya terus berlari mencari tempat yang sepi.
“Drun, sudah, berhenti, drun ... kesel nih!!!”
“Hei kenapa kamu lari kayak maling dikejar hansip gitu Drun??” tanya teman-temannya.
“Sialan, andai kamu yang jadi aku, mungkin juga kamu akan berbuat sama seperti aku. Siapa yang nggak takut kalo yang menemui aku tadi langsung panjenenganipun hadratussyaikh, waduh mati aku!” jawab Badrun dengan nafas terengah-engah.
“Drun, katanya mau jadi kiai, kiai kok takut sama kiai, dasar kiai palsu!!!”


About the Author

kang sholeh adalah salah satu WNI. Lahir di Tuban, 16 Januari 1985 dan sekarang bertempat Tinggal di Jl. KHR. Moch Rosyid No 556 Ngumpakdalem Dander Bojonegoro.

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.